Bandar Lampung : Mega proyek Reklamasi Pantai, khususnya yang terjadi di Kota Bandarlampung, sangat berdampak pada pemiskinan perempuan di provinsi Saibumi Ruwa Jurai ini. Bahkan tidak hanya itu saja, hilangnya akses dan kontrol terhadap sumber kehidupan serta penghidupan, yang semakin memiskin-kan masyarakat, akan berdampak lebih pada perempuan, dan meningkatkan kekerasan terhadap perempuan, baik dalam rumah tangga maupun publik.
Untuk itu, bertepatan dengan Hari Perempuan Internasional 2017, yang jatuh pada hari ini, Rabu (8/3) Solidaritas Perempuan Sebay Lampung, mencoba kembali mengingatkan kepada pemerintah kota di bawah kepemimpinan Walikota Herman HN, bahwa reklamasi pantai memiliki efek jangka panjang yang berkelanjutan.
Ketua Solidaritas Perempuan Sebay Lampung, Aramayanti, mengatakan, dampak dari reklamasi pantai melalui kebijakan pemerintah lewat Perda RT/RW Prov No 10 tahun 2011, tentang tata ruang wilayah, telah memfasilitasi meningkatnya investasi pembangunan di sektor pariwisata sepanjang wilayah teluk panjang sampai padang cermin.
"Seperti perempuan nelayan di Desa Teluk Bone Cungkeng Kota karang, yang terpaksa harus menjadi buruh pemilih ikan kecil di pulau pasaran dikarenakan terputusnya sumber-sumber kehidupan dari hasil laut dampak dari reklamasi pantai, selain itu perempuan pesisir teluk bone juga mengalami diskriminasi perbedaan upah kerja antara laki-laki dan perempuan padahal jam dan beban kerja diberlakukan sama. Ini situasi yang benar-benar nyata dan sesuai fakta yang terjadi," urai Yanti, sapaan akrabnya.
Ketika suatu pantai itu ditimbun, sambung Armayanti, otomatis ikan akan menjadi sangat sedikit yang ada di pinggiran pantai. Karena, pada dasarnya akses perempuan hanya sebatas dari pinggiran atau pertengehan laut, yang terjadi saat ini mereka harus lebih jauh lagi dalam mencari ikan.
"Ini kan suatu keterbatasan bagi perempuan, seperti hamil atau suatu halangan lain seperti reproduksi, jadi mengharuskan mereka tidak bisa mencari ikan lagi. Bahkan dampaknya bukan hanya sebagai pemilih ikan kecil di Pulau Pasaran, tetapi ada beberapa nelayan pesisir yang berimigrasi akibat reklamasi pantai," ujarnya.
Dari data yang dihimpun oleh Solidaritas Perempuan, Kota Bandarlampung memiliki garis pantai 27,01km, mulai dari Serengsem Panjang hingga Lempasing, Teluk Betung. Hampir sebagian pesisir sudah dijadikan proyek reklamasi. Bahkan pada tahun 2016 ada 10 perempuan teluk bone cungkeng yang kemudian barus bermigrasi keluar negeri.
Selain itu, perempuan pesisir yang bekerja menjadi buruh pemilih ikan kecil di Pulau Pasaran mendapatkan diskriminasi pembagian upah kerja antara lelaki dan perempuan.
Lelaki dibayar Rp50 ribu/hari,sedangkan perempuan mendapatkan upah Rp35 ribu/hari. Begitu juga dengan pembagian jatah makan siang. Lelaki mendapatkan jatah makan ayam/ikan, sedangkan perempuan dipaksa makan dengan lauk tempe/tahu, sedangkan beban kerja dan jam kerja diberlakukan sama.
Selain dari permasalahan reklamasi pantai, kaum perempuan di Desa Tanjung Ratu Ilir, Kecamatan Way Pengabuan, Lampung utara, juga harus kehilangan lahan untuk bertani. Kondisi ini semakin meminggirkan dan memiskinkan perempuan.
Untuk itu, Solidaritas Perempuan, pada momen memperingati hari Perempuan Internasional ini menyerukan dan mengajak seluruh masyarakat Lampung khususnya perempuan untuk merebut kembali kedaulatan perempuan atas pangan dari penetrasi globalisasi.
Perempuan menolak reklamasi pantai teluk panjang sampai padang cermin, perempuan melawan perdagangan bebas dan investasi, kembalikan kedaulatan perempuan atas tanah, dengan mewujudkan reforma agraria berkeadilan gender, perlindungan bagi perempuan buruh migrant dan keluarganya, Indonesia keluar dari WTO, hentikan hutang dari luar negeri.(r)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar