[caption id="attachment_1156" align="aligncenter" width="500"] Ilustrasi (Foto: NIOD)[/caption]
TIDAK terasa sudah 72 tahun kemerdekaan bangsa Indonesia lepas dari penjajah Belanda saat mengobrak abrik Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) sebelum merdeka.
Seperti dilansir okezone.com tiga jam setelah berita ini diturunkan, memuat berita bahwa Parlemen dan pemerintah Belanda menyetujui 3 lembaga yang didanai dari pemerintah negeri Tulip ini kembali meneliti tentang kejahatan perang atau “Perang Dekolonisasi” (menurut versi Belanda) 1945-1950.
Tiga lembaga yang dimaksud adalah KITLV (Koninklijke Instituut voor Taal, Land en Volkenkunde) atau Institut Ilmu tentang Asia Tenggara dan Karibia Kerajaan Belanda, NIMH (Nederlands Instituut voor Militaire Historie) atau Institut Sejarah Militer Belanda, serta NIOD (Nederlands Instituut voor Oorlogsdocumentatie) atau Institut Dokumentasi Perang Belanda.
Anehnya beberapa sejarawan Indonesia turut mendukung penelitian ini, setidaknya ada 9 agenda penelitian yang akan dilakukan tiga lembaga itu selama di Indonesia.
Menurut aktivis serta Ketua Yayasan Komite Utang Kehormatan Belanda (KUKB) Jeffry M Pondaag, mesti ada beberapa hal lain yang mesti lebih dulu jadi perhatian. Apalagi selama ini, Belanda belum juga mengakui secara resmi proklamasi kemerdekaan Indonesia 17 Agustus 1945.
Oleh karenanya, Jeffry merasa penelitian itu sudah seharusnya tak menyertakan kata “Indonesia”, melainkan “Hindia Belanda”.
“Pertama-tama sebagai bangsa Indonesia yang sejak 1969, saya sangat menyesalkan karena pemerintah kita (RI) tidak memberi perhatian sama sekali. Karena para korban yang memberikan hidupnya untuk kemerdekaan (RI) tidak boleh dan tidak bisa dilupakan,” ungkap Jeffry melalui Email yang dikirim kepada okezone.com
Dirinya mengatakan, tiga institut itu (KITLV, NIMH dan NIOD) selama 70 tahun ini tidur. Mereka baru bangun untuk memeriksa daging sendiri yang mau dijual.
“Tiga institut ini tidak bisa dipercaya. Apalagi kalau saya lihat program (penelitiannya) terkait Periode Bersiap,” imbuhnya.
Ya, salah satu program penelitian kembali yang akan digulirkan KITLV, NIMH dan NIOD di Indonesia adalah soal “Periode Bersiap”. Sebuah masa yang kacau balau di negeri kita pada rentang akhir 1945 hingga awal 1946. Sebuah masa yang sensitif untuk dibahas.
“Selama pemerintah Belanda tidak mengakui kemerdekaan Indonesia 17 Agustus 1945, sejarah yang diperiksa kembali adalah sejarah Belanda (Hindia Belanda) yang bertanggung jawab sampai 27 Desember 1949. Karena ini, Belanda tidak bisa dan tidak boleh menyebut ‘Indonesia’,” sambung Jeffry.
“Belanda menganggap 27 Desember 1949 (penyerahan kedaulatan) sebagai hadiah kepada Indonesia yang menjadi merdeka! Ini semua dari kacamata Belanda. Kalau Belanda mengakui kemerdekaan (RI), sejarahnya jadi lain karena Belanda berarti menyerang begara yang berdaulat dan dalam hukum, ini berarti kejahatan perang,” lanjutnya.
Tidak lupa, Jeffry “menyentil” para sejarawan Indonesia yang akan diajak bekerjasama dengan KITLV, NIMH dan NIOD dalam agenda-agenda penelitian kembali ini.
“Atas nama siapa sejarawan Indonesia bekerja sama? (Bambang Purwanto dan Abdul Wahid dari Universitas Gadjah Mada). Sampai sekarang negara kita dilecehkan dan diadu domba melalui sejarawan-sejarawan Indonesia yang bekerjasama,” tambah Jeffry lagi.
“Lihat saja kereta emas punya Kerajaan Belanda. Gambarnya masih seperti itu (gambar zaman kolonalisme Belanda dan penindasan warga pribumi). Di Parlemen Belanda juga ada ruangan bernama Ruangan Kolonial. Ini semua artinya Belanda tidak tahu malu dan tidak mau melihat HAM,” pungkasnya. (*)
Minggu, 02 April 2017
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar